bangsa yang belajar dari pengalaman.
Setelah peristiwa Gempa Kobe sebesar 6,8
skala ricter dengan waktu sekitar 20 detik
pada 17 Januari 1995 yang menewaskan
6.434 jiwa dan menghancurkan 200.000
bangunan, Jepang langsung bebenah diri.
Seluruh bangunan baru di buat dengan
daya tahan gempa yang lebih kuat di
seluruh negeri bukan hanya di Kobe,
karena asumsinya kalau di Kobe bisa
terjadi seperti itu di manapun bisa.
Terbukti, ketika kemudian datang gempa
dengan kekuatan 8,9 skala richter datang
(30% lebih kuat) dan berlangsung cukup
lama (beberapa menit) sebagian besar
gedung bertahan dan gedung bertingkat
hanya bergoyang-goyang.
Hanya saja kemudian banyak yang hancur
diterjang tsunami dengan ketinggian 10
meter dengan kecepatan mencapai
800km/jam (hampir 3 kali kecepatan
kereta tercepat sekalipun).
Belajar dari sini, Indonesia juga harus
membuat bangunan berstandar gempa 9
skala ricter karena tren gempa saat ini
setinggi itu (kebanyakan gedung
dirancang untuk tahan gempa 6 skala
richter).
Belajar tertib, tidak egois, dan tidak panik
Sekalipun bagi setiap orang, gempa
sebesar ini adalah pengalaman pertama,
sebagian besar masyarakat bisa
menghadapi keadaan secara proporsional.
Mereka takut tapi tidak panik, mereka
tetap tahu harus melakukan apa dan
bagaimana.
Jumlah gempa di Indonesia lebih banyak
dari Jepang, hanya saja bangsa Jepang
lebih menyiapkan diri anak bangsanya
untuk menghadapi gempa.
Bahkan setelah gempa pun mereka tetap
bersikap proporsional.
BBC dan CNN mengangkat bagaimana
tertibnya bangsa Jepang setelah gempa.
Di Tokyo. sekalipun setiap 30 menit
terjadi gempa susulan, masyarakat masih
mengantri di stasiun, tidak berebutan,
bahkan mereka masih berhenti di lampu
merah.
Mereka sadar kalau mereka panik maka
keadaan semakin kacau.
Butuh pendidikan tingkat tinggi dan
panjang untuk membentuk mental
masyarakat seperti ini. Bahkan terlihat
bagi penyiar Amerika maupun Inggris, ini
cukup menakjubkan.
Belajar kejujuran
Begitu gempa terjadi, Pemerintah Jepang
langsung mengumumkan bahaya radiasi
nuklir sehingga mengevakuasi warga.
Buat pemerintah lebih baik mengaku
keadaaan agar tidak tambah korban
daripada harus menutupi keadaan untuk
menjaga citra pemerintah sambil
melakukan perbaikan tapi beresiko
membawa banyak korban.
Berbeda dengan pemerintah Uni Soviet
ketika Pusat Nuklir Chernobil bocor.
Pemerintah berusaha menutup nutupi
hingga akhirnya informasi bocor 4 hari
kemudian. Sehingga memakan lebih
banyak korban.
Tetapi kejujuran pemerintah ini juga
didukung oleh kesiapan infrastruktur
mental orang Jepang yang tidak panik
dan tertib.
Peran Sosial Media dan Multi Media
Sosial Media saat ini juga memberi peran
penting dalam mengantisipasi korban
lebih banyak. Beberapa menit setelah
gempa, twitter melesat di Jepang,
mencapai 1200 tewwt setiap menit.
Google juga menyediakan google finder
untuk mencari orang hilang.
Bumi Yang tidak ramah
Ada satu hal yang perlu diwaspadai. Entah
bagaimana menjelaskannya, tapi yang
jelas ada sesuatu yang sedang
berlangsung di bawah bumi dan
membuat bumi menjadi tidak ramah buat
manusia.
Bayangkan saja, ketika terjadi tsunami
terjadi di Aceh (26 Desember 2004), ada
yang mengatakan ini siklus 100 tahunan
seperti yang terjadi di Portugal (1755).
Tapi hanya beberapa tahun saja sudah
terjadi tsunami besar di Jepang (Maret
2011).
Ketika terjadi gempa di Acah dengan skala
kekuatan 8,9 skala ricter, banyak yang
mengatakan, jarang terjadi gempa
dengan kekuatan di atas 8 (memang
sebelumnya demikian). Tapi setelah Aceh,
Nias, Sumatera Barat, Jawa Barat dan Joga
ditimpa gempa besar kemudian kini
Jepang.
Berlindung Pada Kekuatan Yang Lebih
Besar
Peristiwa-peristiwa ini mengingatkan
betapa sebenarnya manusia itu kecil.
Even bangsa yang tercanggih dan terkaya
saja tidak mampu mengatasi bencana
sekuat ini. Mobil bergelinding seperti
mainan, rumah hancur seperti kardus, air
meluncur dengan kecepatan pesawat
terbang.
Hanya Sang Pencipta yang mampu
menahannya.
Semoga kita bisa belajar banyak dari apa
yang sedang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar