Entah kenapa saya merasa harus
mengungkapkan kejengkelan saya
terhadap materi pendidikan di Indonesia, bahkan di dunia, karena kita jadi terpaksa ikut menyesuaikannya.
Pendidikan nampaknya harus direvolusi.
Betapa anak-anak menderita stres dengan pelajaran yang di masa depan mungkin tidak bermanfaat sama sekali. Mereka kadang diangggap bodoh, kurang
berpendidikan hanya karena gagal di
sekolah.
Semua terjadi karena sekolah menjadi
indikator pendidikan, padahal di sekolah banyak pelajaran yang
tidak penting yang dipaksakan untuk
dipelajari.
Seharusnya pendidikan tidak selalu
identik dengan sekolah,
dan idealnya sekolah bukan satu-satunya yang berhak menilai kadar terdidik atau tidaknya seseorang.
Ilmu dibagi menjadi dua, ilmu murni dan ilmu terapan.
Ilmu murni berarti ilmu untuk ilmu itu
sendiri, jadi manfaatnya nanti dulu,
sedangkan ilmu terapan berarti
mencakup manfaat ilmu untuk kehidupan.
Karena ada dua sifat tersebut maka dalam pendidikan juga harus dibagi menjadi dua, ilmu murni karena tidak langsung bermanfaat maka sifatnya bagi siswaHANYA SEKEDAR TAHU.
Jadi tugasnya hanya untuk MEMANCING MINAT untuk ke tingkat yang lebih tinggi.
Karena itu ilmu ini tidak boleh dibebankan ke dalam test.
Kalau ada yang berminat baru ikut
penjurusan.
Sedangkan ilmu terapan harus difahami dipraktekkan dan menjadi bekal kehidupan.
Contohnya sederhana.
Ada anak Indonesia, yang berbicara
dengan bahasa Indonesia, bermain
dengan bahasa Indonesia,
tetapi tidak lulus pelajaran Bahasa
Indonesia. Itu aneh, karena esensi bahasa adalah komunikasi.
Bagaimana mungkin kita tidak lulus
bahasa Indonesia cuma karena tidak
mengerti konsep SPOK, SP, kalimat
majemuk, KV, KVK, KKVK, dll, padahal
sehari-hari kita berbicara bahasa
Indonesia.
Yang bodoh siapa?
Si anak yang lancar berbahasa bahasa
Indonesia tapi tidak tahu konsep anak kalimat, kalimat majemuk, dll,
tapi tahu cara memakainya dengan benar, atau penilai yang mementingkan teori anak kalimat, kalimat majemuk bertingkat dsb, yang bahkan tidak peduli anak-anak tersebut hidup dengan bahasa tersebut dan berkomunikasi dengan
bahasa tersebut.
Ini sama saja dengan tidak memberi
sertifikat renang pada ikan hiu karena
ikan hiu tersebut gagal menjelaskan gaya renang apa yang dipakainya.
Menurut saya, pengetahuan SPOK, kalimat majemuk, dan teori bahasa hanya ditempatkan sebagai ilmu yang perlu diketahui tapi tidak boleh masuk dalam test.
Kalau siswa tidak suka ya sudah jangan dipaksakan, toh tidak terlalu bermanfaat dalam kehidupan.
Lucunya ada anak yang bunuh diri akibat UAN bahasa Indonesianya hancur. Padahal ia menulis surat bunuh diri dalam bahasa
Indonesia. Tragis.
Coba lihat pelajaran biologi.
Ada anak SD diajar tentang organ kodok, jenis jaringan tumbuhan, dsb.
Tapi lulus SD mereka tidak mengerti
banyak hal yang bermanfaat untuk
kehidupan misalnya, survivor (tahu mana pohon yang beracun mana yang tidak kalau terdampar), tahu bagaimana mengatasi gas beracun, P3K.
Mereka tidak tahu betapa bahayanya
rokok, bagaimana menghindari narkoba, apa ciri-ciri narkoba,
bagaimana mengatasi demam berdarah, bagaimana penanggulangan dini kalau
ada korban luka bakar.
Ini justru penting bagi kehidupan.
Mereka tidak mengerti bagaimana
memasak beras agar tidak terbuang
vitamin B nya.
Mereka tidak tahu kalau susu jangan
dicampur air panas karena kalsiumnya
rusak, dll. Yang justru penting untuk kehidupan tapi tidak diajarkan.
Kalau masalah kodok, tikus dan
sebagainya hanya untuk memancing
minat yang proporsinya hanya sekedar memancing minat saja bukan
membebani.
Sedangkan yang bermanfaat untuk
kehidupan harus dikuasai.
Anak anak juga diajar tentang planet.
Mereka tahu jumlah planet, nama planet dan ukuran planet.
Tapi mereka tidak diberi pelajaran
tentang global warming, cinta
lingkungan, dll yang justru berkaitan
dengan kehidupan. Mereka juga tidak ada pelajaran persiapan bencana tsunami dan gempa dalam kurikulum.
Justru ilmu yang penting ini diberikan
oleh pengajar tamu dari PBB (United
Nation) dan NGO internasional yang tentu saja tidak menyentuh semua siswa dan bersifat berkala saja.
Tapi urusan planet di tata surya yang kita tidak tahu tahun berapa akan
bermanfaat, semua siswa wajib
menghapal.
Kalau sekedar minat, ya ajak nonton
bareng film tata surya, mereka yang
berminat akan memutuskan ke jenjang antariksa.
Kita mungkin butuh beberapa ratus ahli antariksawan, mungkin beberapa ribu, tapi tidak perlu puluhan juta anak harus menguasainya bukan?
Kalaupun ada yang perlu diketahui dari antariksa adalah justru kemampuan menentukan arah kompas, ini malah tidak
diajarkan (tidak didalami). Masih banyak anak tidak tahu mana utara, selatan, tenggara, dsb.
Intinya, kita cuma butuh beberapa ribu ahli fisika.
Kita cuma butuh beberapa ribu ahli
linguistik. Cuma butuh beberapa ahli biologi, dll.
Tetapi kenapa ratusan juta anak wajib
mempelajarinya, dan stress karenanya.
Kalau orientasi kita rubah dengan
pelajaran yang faktual, actual dan selektif, sedangkan bangsa lain masih terbelenggu dengan pendidikan simbolis dan konvensional,
maka kita akan menyusul bangsa lain.
Kita perlu mendefinisikan ulang materi pelajaran.
MANA YANG CUMA SEKEDAR PENGETAHUAN dan MANA YANG HARUS DIKUASAI.
Memang untuk beberapa anak yang mau melanjutkan ke LN jadi susah.
Ya sudah di drill saja 6 bulan menjelang ke sana kekejar koq!
Kepada anak-anak saya tidak memaksa mereka belajar.
Yang penting mereka berkarya.
Apalagi dengan adanya UAN.
6 tahun mati-matian akan sia-sia hanya dengan kegagalan test 3 hari. Sialnya pas test jatuh sakit.
Lebih baik 5 1/2 tahun bahagia, 1/2 tahun siapkan UAN mati-matian.
Seharusnya penjurusan di mulai di SMP saja, jangan di SMA nanti terlalu banyak hal yang tidak penting dipelajari lagi.
Jadi anak lulus SMA sudah produktif.
Dan penjurusan jangan sekedar Fisika,
Biologi dan sosial. Kini harus di tambah Teknologi Informasi.
Buat praktisi IT sebanyak-banyaknya
karena segala hal bisa dipermudah
dengan IT.
Korupsi biaya tinggi, penyelewengan
pajak, pengajaran online, dll bisa dibantu IT.
Jika IT maju pemilu tidak perlu sensus,
kartu baru dsb. Cukup KTP Smart yang
mempunyai data digital.
Banyak orang saat ini bekerja dengan
membuang katakanlah 80 - 90%
pelajaran yang tidak ada manfaatnya.
Silahkan hitung sendiri,?
Apakah pelajaran PSPB, IPBA, Sastra, dll sangat berpengaruh dengan pekerjaan Anda sekarang,?
Coba ingat ingat semua pelajaran kita,
mana yang bermanfaat?
Saya mendidik anak-anak lebih pada
orientasi ilmu bermanfaat dan karya.
Salsa dan Adam anak saya yang SD sudah bisa photo shop.
Saya bilang ke mereka. Dengan satu
keahlian ini saja kamu sudah bisa
menghasilkan uang puluhan juta per
bulan, separti om ini, ini, dan ini saya
menyebutkan nama desiner grafis yang mereka kenal..
Salsa sudah menulis 5 buku, Adam
menulis 2 buku.
Saya bilang ke mereka, dengan
kemampuan ini saja, kamu bisa
berpenghasilan puluhan juta per bulan, seperti ini, ini, dan ini... nama-nama penulis.
Salsa dan Adam kini suka internet. Saya bilang, kalau kamu dalami internet kamu bisa jadi orang terkaya di dunia.
Mereka juga mendalami, olah raga dan
musik.
Kalau Salsa atau Adam pulang dengan
nilai ujian jelak atau bagus.
Maka saya check kesalahannya.
Kadang saya bilang "Ini pertanyaan
penting, kamu harus tahu jawabannya"
Kadang saya bilang "Wah kalau soal ini gak apa salah, nanti juga gak kepakai dalam kehidupan.
Ayah udah puluhan tahun hidup gak
pernah pakai pengetahuan ini (saat itu soalnya tentang kota ini lintang berapa derajat bla..bla..bla) saya bilang gak usah hapalin lintang derajat begini, cari yang lebih bermanfaat.
Mungkin saya seperti orang tua ngaco, ya kan?
Tapi itu cara saya mendidik anak untuk menseleksi ilmu.
Saya gak mau anak-anak stres untuk
pengetahuan yang menurut saya tidak penting.
Tapi saya juga menantang mereka belajar efektif. Dengan waktu belajar sedikit tapi hasilnya memuaskan.
Kita kembangkan beberapa metode,
intinya tangkap semua pelajaran di
sekolah, perhatikan, tidak tahu tanya, lalu ulang dirumah, presentasi, dsb.
Alhamdulillah Salsa dan Adam sejauh ini selalu mendapat ranking atas sekalipun belajar banyak hal lain di luar sekolah.
Ya sudah, entah kenapa saya lagi marah dengan pendidikan yang membebankan banyak ilmu yang tidak bermanfaat.
Bayangkan kita mau ke medan perang. Ada dua kelompok orang yang mau direkrut.
Satu ilmuwan yang tahu berbagai nama senapan, tahu jarak tembak senapan tahu bahan baku senapan,
mereka hapal senapan tersebut
ditemukan oleh siapa, tahun berapa, dll. Tapi dia tidak bisa menembak, tidak bisa menggunakan senjata.
Kelompok kedua adalah kelompok
pemuda. Mereka tidak tahu siapa
pembuat senapan, tidak tahu tahun
berapa dibuatnya. Mereka tidak bisa menjabarkan alasan kenapa peluru bisa meluncur. Tapi mereka tahu bagaimana menembak, merakit senapan, merawat dan menggunakannya.
Kira-kira kelompok mana yang kita bawa ikut perang?
Nah generasi kita ke depan menghadapi banyak medan petempuran di bidang ekonomi, teknologi, informasi, dll,
kalau mereka dicekoki sesuatu yang tidak bermanfaat di masa depan, bisa jadi kita akan kalah perang.
Bagaimana menurut Anda?
****************************
1 komentar:
super sekali.
Posting Komentar